Perjuangan Komunitas Lamun Membumikan Sastra di Karawang : Produksi Buletin, Siasati Harga Buku Satra yang Mah

Perjuangan Komunitas Lamun Membumikan Sastra di Karawang : Produksi Buletin, Siasati Harga Buku Satra yang Mah

KARAWANG - Beranggotakan enam remaja, komunitas Lamun memiliki misi membumikan sastra di bumi Pangkal Perjuangan. Mengumpulkan karya sastra dari warga dan membukukannya menjadi sebuah buletin. Begitulah proses  yang dilakukan komunitas Lamun di Karawang yang sudah tiga tahun berdiri. Mengenal komunitas Lamun, tentunya tidak akan terlepas dari proses kesusastraan. Dari penelusuran awak media, komunitas Lamun ini terdiri dari sekelompok kecil pemuda yang setiap harinya tidak terlepas berbicara soal karya sastra. Meski hanya beranggotakan 6 orang, komunitas Lamun mampu bergerak dan meramaikan literasi di Karawang. Rizky Andika atau disapa Iyan (25) selaku salah satu founder komunitas Lamun ini mengisahkan suka dan duka menjalankan misi komunitasnya, yakni membumikan sastra di Karawang. "Banyak kisah suka dan duka yang kami alami, apalagi soal pembuatan buletin sebagai alat utama untuk membumikan sastra, cukup melelahkan dan menguras pemikiran," kata Iyan. Berdirinya komunitas Lamun pada tahun 2019 lalu terpicu karena ketidakmampuannya membeli buku sastra yang cukup mahal. "Awal pemikiran membentuk komunitas ini sebenarnya karena buku sastra cukup mahal harganya, jadi saya dan kawan-kawan berpikir harus membuat bahan bacaan yang cukup murah untuk disebarkan juga jadi bahan pembelajaran," kata pemuda yang masih aktif sebagai mahasiswa jurusan bahasa Indonesia itu. BACA JUGA : Karawang Butuh Ahli Sastra Sunda hingga Pengawas Lingkungan Hidup Ia mengaku dari ketidakmampuan dirinya dan kawan-kawannya, komunitas Lamun ini menjadi pilihan alternatif untuk mengenalkan kesusastraan ke warga. "Kita tahu sendiri, banyak karya sastra yang ditulis oleh warga dan terkadang hal itu luput dari media yang ada. Juga tidak adanya ruang bagi warga untuk menampilkan karya sastranya, dan rata-rata memahami karya sastra juga warga harus mampu mengeluarkan uang yang cukup mahal. Dari hal itu akhirnya kami mencoba menghadirkan ruang alternatif dengan mengumpulkan karya sastra mereka dan membukukannya," terangnya. Salah satu alat utama dalam membumikan sastra, komunitas Lamun membuat buletin sastra yang dibuat secara mandiri tanpa dicetak ke perusahaan percetakan. "Kami buat buletin ini tidak semudah yang dikira, karena kami harus memahami pola desain buku juga halaman. Dengan aplikasi word yang bukan aplikasi desain buku, akhirnya kami bisa membuat buletin sastra ini," bebernya. Proses pembuatan buletin ini dikatakannya harus melewati berbagai tahapan panjang. "Jadi tahap awal itu kami menyebarkan ajakan menulis karya sastra ke berbagai elemen masyarakat dan komunitas, kemudian dikurasi secara mandiri oleh kawan-kawan yang memang belajar kesusastraan kemudian mengedit ulang lalu merancang halaman dan lalu dicetak," ujarnya. Buletin Lamun ini terdiri dari 65 halaman, terbit setiap bulan dan sudah memiliki 13 edisi. "Selama 2019 dan saat ini kami baru bisa membuat 13 edisi, dan per edisi terbit setiap bulan. Meski pada pandemi edisi sempat terhenti," katanya. Di dalam buletinnya terdiri dari kumpulan puisi dan cerita pendek (cerpen) yang didapatkan dari hasil pengumpulan. "Di dalam buletin itu berbagai puisi dan cerpen dari berbagai elemen masyarakat," terangnya. Buletin yang dibuat sempat dijualbelikan dengan harga Rp 7 ribu. Namun, saat ini buletinnya diedarkan secara gratis dengan format digital. "Per edisi kami cetak kurang lebih 50 buletin dan dulu itu kami jual dengan harga 7 ribu karena untuk menutupi pengeluaran kami membeli kertas dan proses fotokopi selama satu tahun," katanya. "Dari hasil evaluasi tim, akhirnya tahun ini kami buatkan buletin ini dalam bentuk digital dan disebarkan gratis kepada masyarakat," tuturnya. Selain mencetak dan menyebarkan buletin, komunitas Lamun ini membuat gelaran diskusi sastra dan membuka perpustakaan buku di ruang-ruang publik. "Selain buletin kami juga mencoba membumikan sastra dengan membuat acara diskusi sastra di kedai-kedai kopi di Karawang juga setiap minggu kami membuka perpusatakaan jalanan di ruang-ruang publik, seperti di taman dan di lapang Karangpawitan Karawang," tandasnya. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: